Breaking News

Kejagung Periksa Ketua Komite KADIN di Kasus Dugaan Korupsi BAKTI Kominfo > Wamenaker: Perppu Cipta Kerja Tak Terapkan PKWT Seumur Hidup > Ketua Umum PP Lidmi: Putusan PN Jakpus Error in Objecto dan Bertabrakan dengan Amanat UUD NRI 1945 > Ketua FKUB Kabupaten Jayapura: Penyanderaan Pilot Susi Air Harus Segera Diakhiri > KPK Kirim Tim Periksa Harta Dirjen Pajak Rafael ke Minahasa dan Yogyakarta > FSGI Kritik Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 WITA dI NTT, Ancam Kesehatan dan Kosentrasi Belajar Anak Didik
Lk
Selasa, 04 Juli 2023, 08:11 WIB
Last Updated 2023-07-04T15:15:14Z
PENDIDIKAN

Pemerhati Anak Kecam Kepolisian Gunakan Senjata Laras Panjang dan Tampilkan ABH 13 Tahun Dalam Konferensi Pers


Jakarta, detiklinenews.com - Anak R (13 tahun) merupakan terduga pelaku yang membakar sekolahnya karena sakit hati lantaran mengalami pembullyan terus menerus dari sesama peserta didik dan juga gurunya, ditampilkan oleh pihak kepolisian dalam sebuah konfrensi pers dan secara berlebihan pihak kepolisian juga menempatkan seorang polisi berseragam yang memegang senjata laras Panjang. 


Pemerhati Anak Retno Listyarti menyampaikan, pihak kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak.


"Saya menduga kuat pihak polisi tidak memahami UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan tidak pahan Konvensi Hak Anak terutama tentang prinsip kepentingan terbaik bagi anak," ujarnya. 


Menurut Retno, apa yang dilakukan pihak kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak. Meski anak R telah melakukan tindak pidana pengrusakan, namun Anak R yang masih berusia 13 tahun seharusnya tidak perlu ditampilkan dalam konferensi pers, apalagi didampingi polisi dengan senjata laras Panjang.


Padahal Ananda R tidak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat. Selain itu, anak R juga korban pembullyan, apa yang dilakukan merupakan akibat dari sebuah sebab yang dialaminya dari lingkungan tempat dia bersekolah.


Dalam UU No 11 Tahun 2012 pada Pasal 19 (1) disebutkan  bahwa  Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.


Adapun ayat (2) merinci apa saja yang merupakan Identitas anak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.


Menampilkan anak R dalam konfrensi pers meski menggunakan penutup wajah sekalipun, sudah berpotensi kuat ikut mengungkap jati diri anak. 


Media televisi, cetak dan elektronik dapat dipastikan menampilkan fisik anak R dan pasti akan menzoom bagian wajah yang tertutup, artinya polisi justru memfasilitai media melanggar pasal 19 UU SPPA. 


Padahal, ada sanksi atas pelanggaran UU SPPA Pasal 19 Ayat 1  yang dapat dikenakan terhadap media, adapun ketentuan sanksinya adalah bahwa “Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. 


Retno juga mengatakan, pihak Kepolisian berpotensi melanggar hak anak memperoleh Pendidikan. Perlakuan pihak kepolisian yang berlebihan dapat berdampak pada massa depan Ananda R, seperti hilangnya hak melanjutkan Pendidikan, karena setelah pemberitaan tersebut, anak R berpotensi tidak diterima lagi oleh pihak sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah dan seolah penjahat yang berbahaya. 


Kalaupun anak R sudah menjalani proses hukum nantinya, anak R akan kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerimanya melanjutkan Pendidikan. 


Padahal, anak R berhak mendapatkan pendidikan meski sebagai pelaku pidana sekalipun, karena dia masih anak dibawah umur.  Anak R juga berhak melanjutkan masa depannya meski pernah dihukum sekalipun. Itu semua dijamin dalam UU Perlindungan Anak. 


Namun, ketika diliput luas oleh media bahkan diambil foto dan videonya, maka anak R akan berpotensi kuat  mendapatkan stigma buruk berkepanjangan,  baik di wilayah  anak R tinggal bersama keluarganya, maupun dalam lingkup yang lebih luas.  


Hal ini akan berdampak masa depannya yang  berpotensi suram, seperti sulit mendapatkan sekolah, berikutnya mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Hal tersebut berpotensi kuat terjadi sebagai dampak pemberitaan dan identitas yang muncul di publik, dan ironisnya itu dilakukan oleh APH.  


Retno mendesak Kompolnas, Irwasun Polri, KPAI dan Dewan Pers Turun Tangan.


"Saya sebagai pemerhati anak dan Komisioner KPAI Periode 2017-2022 mendorong pihak pihak terkait seperti Irwasun Polri dan Kompolnas dapat bertindak sesuai kewenangannya untuk menyelidiki dugaan pelanggaran  UU PA dan UU SPPA yang dilakukan oleh kepolisian," ungkapnya.


KPAI sebagai Lembaga pengawas perlindungan anak juga harus segera bersuara dan bertindak. Selain itu, Dewan Pers juga harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap media yang diduga melanggar pasal 19 UU SPPA dalam tayangannya.  


"Semoga peristiwa menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk peka dan memiliki persfektif perlindungan anak," tutup Retno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar